Kadandiyu Dandiyu Lai Kadandiyu Kadanding

Merudung Pebatun de Benuanta

Jumat, 29 Oktober 2010

KEBAKARAN

  Capek, lelah dan letih itulah yang ku rasakan pagi ini. Betapa tidak, malam yang seharusnya aku nyaman tertidur dalam siraman hujan dan berselimut dingin malam namun dikejutkan sirene alarm kebakaran armadaku. Yaa baru saja terjadi kebakaran yang dahsyat tadi malam. Di tengah guyuran hujan lebat yang dingin, tetapi api masih tampak perkasa dan melahap tiga buah rumah.
         Sejak aku diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pemadam Kebakaran pada tahun 2006, maka terkadang aku harus melewatkan malam indahku di rumah untuk piket malam ataupun panggilan tugas seperti tadi malam. Profesionalisme memang harus diutamakan. Tak pandang panas, petir, hujan atau kiamat sekalipun. Tugas adalah tugas yang sudah mendarah daging dalam jiwaku. Alarm kebakaran seperti panggilan ilahi yang harus ku penuhi.
         Satria Biru bersenjata nozzle dan selang berpeluru air. Dengan semboyan ”pantang pulang sebelum padam” menjadi cambuk semangatku untuk terus menolong sesama. Barulah ku merasakan keindahan Pancasila yang selalu diajarkan guru PPKn sejak SD sampai SMA tentang tolong-menolong. Dan kini ku aplikasikan dalam kehidupan dan kerjaku.
         Capek, lelah dan letih itulah yang ku rasakan pagi ini. Namun sekali lagi panggilan ilahi meraung-raung. Di tengah keramaian kota Tanjung Selor, armadaku sekali lagi menyusuri jalan padat dengan sirene. Menuju lokasi kebakaran yang terlihat jelas asap hitam membubung tinggi membentuk awan gelap seperti monster.
         Aku yang sedang terbaring di kasurku yang tak lagi empuk segera mengenakan pakaian safety dan sepatu. Betapapun itu tugas dahsyat, namun keamanan dan keselamatan diri jauh lebih penting atas segalanya. Dengan sepeda motor Jupiter Mx hitamku, hasil keringatku sebagai petugas pemadam kebakaran, aku melaju kencang menuju lokasi kebakaran.
         Subhanallah besarnya api. Ku parkirkan sepeda motorku di tempat yang agak aman lalu kemudian ku menumpang mobil patroli polisi yang kebetulan menuju kesana. Sungguh aku lelah tetapi entah mengapa aku seperti mendapat tenaga baru. Di lokasi kebakaran ku berlari menuju mobil armadaku yang sedang beroperasi. Dan mengikuti selang yang terhampar, ku sampai ke baris terdepan menantang api. Si Jago Merah versus Satria Biru.
         Api besar melahap rumah-rumah kayu yang memang rumah tua. Terlihat seperti menantang ku. Berdua dengan temanku, kami maju sambil terus menembaki dengan air. Bahkan dengan air bertekanan tinggi sang api tak bergeming dan semakin membubung tinggi. Terus bertahan melawan kobarannya yang mengalirkan hawa panas. Bahu- membahu dengan masyarakat yang bersikap kooperatif.
         Capek, lelah dan letih itulah yang ku rasakan pagi ini. Rasa itu hilang dan menghadirkan semangat jiwa seperti api yang berkobar. Yaa.. Api yang membakar itulah semangat jiwa Sang Pemadam, semakin besar api yang tampak maka semakin besar pula semangat jiwanya.
         Di tengah kegaduhan perang melawan Si Jago Merah itu terdengar raung tangis seorang ibu yang memanggil anaknya. Ekor mataku melihat ibu itu meronta-ronta ditahan keluarganya. Bergolak jiwaku seperti api yang belum menyerah ini. Ku menitikkan airmata marah melihat api yang semakin membesar. Tidak ada tanda-tanda dia akan segera padam. Bahkan parahnya nozzle kami berhenti menembakkan air. Air habis.
         Api semakin besar dan tanpa air sama saja dengan berperang tanpa senjata. Ku ajak warga yang berkerumun untuk mundur di jalur aman. Si Ibu yang tadi meronta berlari ke arah ku. Matanya bersimbah airmata seraya menarik-narik bajuku penuh iba. Ia memberi tahuku bahwa anaknya masih di dalam rumah yang kini berselimut kobaran api. Terus dia meronta, menangis dan bahkan ingin masuk ke dalam kobaran api itu.
         Ku coba tenangkan sang ibu. Untunglah air kembali mengalir dan menyerang kobaran api tersebut. Ku arahkan temanku agar menyemprot ku selagi aku berusaha masuk ke dalam. Temanku melarang dan mencoba menahan ku namun aku terus berlari masuk ke dalam kobaran api.
         Dari kejauhan seorang wanita yang teramat indah dengan bola mata biru bagai malaikat menatap ku dengan perasaan cemas.
         Capek, lelah dan letih itulah yang ku rasakan pagi ini. Rasa itu seakan lenyap tak berbekas. Aku masuk ke dalam kobaran api yang panas. Aku tetaplah manusia yang akan terbakar oleh api. Di tengah kobaran api itu ku mencari dimana sang anak itu berada. Belum sekalipun aku mengikuti pelatihan resmi pemadam, namun entah nekat atau panggilan, aku tidak tahu. Seandainya aku mati di sini hari ini, semua adalah hak Pemilikku. Aku hanya menjalankan tugas sosial meski harus bertaruh nyawa. Andai aku mati disini entah sebagai pahlawan atau sebagai kekonyolan, aku tetaplah dengan niat menolong sesama meskipun anak-anak.
         Hanya sebuah untaian doa kepada ilahi agar Dia menyelamatkan ku seperti menyelamatkan Nabi Ibrahim AS. Karena aku juga adalah hamba-Nya sama seperti Nabi Ibrahim AS.
         Sepertinya Dia mendengar doaku. Ku melihat seorang anak kecil yang pingsan di dalam sebuah kamar. Ku raih dengan sisa tenaga yang ada. Ku peluk dan kupastikan dia aman bersamaku. Terbayanglah seperti inilah aku saat kecil. Ku ciumi anak itu betapa aku sayang dengan nyawa-nyawa makhluk Tuhan. Tiadalah sesuatu tercipta dengan sia-sia dan disia-siakan.
         Capek, lelah dan letih itulah yang ku rasakan pagi ini. Aku merasa lelah di tengah kobaran api yang menggila. Aku menyadari bahwa itu dikarenakan aku terlalu banyak menghirup asap. Aku merasa lemah. Pintu keluar terlihat jauh dari ku. Ku coba melangkah dengan sisa tenaga semampuku.
         Apakah ajalku disini? Kuharap bukanlah kekonyolan bila ku mati. Namun itu hak dari Penguasa Langit. Dialah yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Nya.
         Dan aku adalah hamba-Nya.
         Sebuah cahaya terang menyilaukan mataku. Berusaha bangkit dari pembaringan dan ku lihat banyak orang berada di sekelilingku. Namun ibuku menahan ku agar tetap tenang. Yaa aku kini di rumah sakit ternyata.. Hehehehe kayak film-film yaa?
         Adik-adikku tersenyum senang melihat aku sadar. Ku lihat Pak Amin, Pak Kopong, Pak Andi, Pak Rustam dan semua teman-teman kerjaku. Senang juga rasanya di kelilingi orang-orang yang ku sayangi. Dan juga seorang ibu yang perlahan ku ingat adalah ibu yang anaknya telah berhasil ku selamatkan.
         Aku merasa bahagia dengan semuanya. Tapi satu hal yang belum ku mengerti, bagaimana aku bisa ada di sini dengan selamat? Berarti ada yang menolong ku jauh lebih berjasa daripada aku. Siapa dia?
         Seorang wanita yang teramat indah dengan bola mata biru bagai malaikat masuk ke ruangan dengan membawa alat pengukur tekanan darah. Lalu dia meminta agar semua keluar dulu dari ruangan.
         Satu persatu keluar dari ruangan dan aku kini hanya berdua dengan perawat cantik seorang wanita yang teramat indah dengan bola mata biru bagai malaikat.
         Mata biru bagai malaikat itu menatapku dengan penuh kelembutan. Lalu dia berkata dengan suara lembut,
         ”Aku yang menyelamatkanmu dari kobaran api yang dahsyat. Aku heran, Tuhan menyuruhku mencabut nyawamu di sini tetapi mengapa engkau hampir mati disana? Karena itu aku menyelamatkan mu. Ternyata tidak ada salah dengan perintah Tuhan,”
            Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah..




T A M A T

NENEK LUSI

Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku, seorang wanita tua dengan kulit keriputnya yang memang keriput tampak keriput termakan usia. Gurat tua wajahnya telah menutupi kecantikan masa silam nenek Lusi yang dulunya menurut beberapa kakek-kakek di kampungku adalah Bunga Desa yang selalu jadi incaran pemuda zaman dulu.
            Nenek Lusi demikianlah namanya yang dikenal orang-orang. Nenek Lusi adalah seorang anak Belanda. Williams Van Mullen, seorang tuan tanah di kampungku zaman penjajahan adalah ayahnya. Nenek Lusi terkenal sebagai noni Belanda yang cantik di zamannya. Kakekku mengaku sempat berpacaran dengannya di kala muda dahulu. Namun karena perbedaan keyakinan dan kecintaan kakek pada Negeri Merah Putih ini, hubungan kandas di tengah jalan. Namun dari cerita nenek, sebenarnya bukan karena kecintaan kakek pada Republik Indonesia, tetapi orang tua Nenek Lusi si Van Mullen yang tidak menyetujui hubungan mereka.
            Entah mana yang benar namun yang pasti dahulunya Nenek Lusi adalah seorang noni yang cantik nan rupawan. Kulit selembut keju dan seputih susu. Berbeda dengan nenekku yang kulit sekeras singkong, secoklat sawo dan gigi berbaris seperti jagung seperti terlihat pada foto kawin nenek yang warnanya hitam putih kekuningan.
            Malang bagi nenek Lusi setelah zaman kolonial Belanda berganti dengan zaman Jepang. Semua keluarganya dibantai nippon yang mengaku sebagai saudara tua bangsa kita. Nenek Lusi berhasil diselamatkan oleh kakek. Saat itu kakek telah menikah dengan nenekku. Betapa marahnya nenek saat kakek membawa pulang Nenek Lusi ke rumah. Cieeh.. Cemburu si nenek. Hehehehe.
            Kakek yang bijak segera paham dengan perasaan nenek. Lalu Nenek Lusi disembunyikan di sebuah pondok di kebun yang jauh dari rumah. Nenekku tidak mengetahui hal tersebut karena kakek sangat pandai menutupi semuanya. Kakek adalah perayu ulung yang sangat ku kagumi. Sejak itu hubungan kakek dan nenek kembali mesra dan lahirlah ibuku yang akhirnya melahirkan aku.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Aku duduk membaca koran di beranda rumah saat Nenek Lusi mendatangi ku. Hampir ku melompat saat dia berdiri di hadapan ku dengan wajah penuh senyum yang menurutku lebih mirip seringai tajam nan mengerikan. Nenek Lusi terlihat lusuh dan kumuh. Ia menatapku dengan tatapan lembut. Bibirnya yang merah bekas sirih menyunggingkan senyum yang bergidik buatku. Rambut putih yang panjang kusut tak terurus menambah imajinasi seram dalam anganku.
            Ia mengulurkan tangannya dan mengusap lembut wajahku. Seperti tersihir, aku diam saja membiarkan tangan dingin yang tak lembut itu membelai wajahku. Aku takut namun aku merasakan sebuah sentuhan penuh kehangatan cinta.
            Senyum lembutnya kembali terpancar dari bibirnya dengan aroma sirih bercampur bau mulut liur kadaluarsa. Setitik bening airmata keluar dari sudut keriput matanya dan perlahan mengalir deras. Entah apa perasaan Nenek Lusi kala itu. Sedikitpun ku tidak bergerak dan hanya terus menatapnya.
            Nenek Lusi mengusap dahiku yang berkeringat entah ketakutan atau mungkin memang takut. Yaa takutlah yang ku rasakan saat itu. Namun ada rasa ketenangan yang mengalir mengiringi ketakutanku.
            Perlahan Nenek Lusi mendekap ku dalam pelukan tubuh rentanya. Aroma tua jasad renta menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku. Terdengar tangisan kecil Nenek Lusi yang seirama dengan detak jantungnya. Aku terus saja terpaku dengan semuanya. Tanpa mampu bergerak melawan. Tangis Nenek Lusi semakin keras disertai sebuah nyanyian kecil berbahasa Belanda yang aku tidak mengerti apa itu.
            Pelukannya melemah dan kembali tangannya mengusap-usap wajahku. Pelan dan pelan sekali tangannya yang tadi dingin mulai hangat membelai sampai ke leher. Senyum dari wajah lusuhnya terlihat ramah dan penuh kasih. Ku rasakan kasih sayang yang tulus seperti kasih sayang nenek yang membelai cucunya dengan cinta.
            Senyumnya terus merekah seakan tak pernah habis. Namun aku merasakan nafasku terhenti. Aku tak dapat bernafas.
            Nenek Lusi mencekik ku dengan kuat. Senyumnya yang lembut kini berubah menyeramkan. Aku tersentak dan sadar dihadapanku adalah Nenek Lusi yang berusaha mencekik ku. Aku semakin lemas tak  mampu bertahan. Dan bayangan Nenek Lusi menjadi gelap dalam pandanganku.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Sebuah cahaya terang menyilaukan mataku. Perlahan cahaya itu meredup dan sesosok tua dengan wajah lusuh menatapku dengan penuh kelembutan. Aku berusaha bangun namun tubuhku masih lemah. Sekilas senyum tua penuh kelembutan itu mulai tampak jelas di hadapanku. Tubuhku pun mulai dapat ku gerak-gerakkan. Begitu jelas sosoknya yang mengusap keningku.
            ”Nenek. Dimana aku?” tanya ku menatap tubuh tua di hadapanku yang ternyata adalah nenek ku sendiri sambil melihat sekeliling.
            Nenek menenangkan aku dan mengatakan saat itu aku berada di rumah sakit.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Yaa.. Aku baru saja tersadar dari pingsan setelah dicekik oleh Nenek Lusi. Aku tidak mengerti mengapa dia mencekik ku. kata nenek ku, Nenek Lusi kini di bawa ke panti sosial untuk dirawat disana. Di pondoknya di temukan secarik foto tentara Jepang yang suka tidak suka harus ku akui mirip sekali dengan wajahku. Namun mengapa dia mencekik ku? Biarlah menjadi rahasia Nenek Lusi.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.

T A M A T