Kadandiyu Dandiyu Lai Kadandiyu Kadanding

Merudung Pebatun de Benuanta

Jumat, 29 Oktober 2010

NENEK LUSI

Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku, seorang wanita tua dengan kulit keriputnya yang memang keriput tampak keriput termakan usia. Gurat tua wajahnya telah menutupi kecantikan masa silam nenek Lusi yang dulunya menurut beberapa kakek-kakek di kampungku adalah Bunga Desa yang selalu jadi incaran pemuda zaman dulu.
            Nenek Lusi demikianlah namanya yang dikenal orang-orang. Nenek Lusi adalah seorang anak Belanda. Williams Van Mullen, seorang tuan tanah di kampungku zaman penjajahan adalah ayahnya. Nenek Lusi terkenal sebagai noni Belanda yang cantik di zamannya. Kakekku mengaku sempat berpacaran dengannya di kala muda dahulu. Namun karena perbedaan keyakinan dan kecintaan kakek pada Negeri Merah Putih ini, hubungan kandas di tengah jalan. Namun dari cerita nenek, sebenarnya bukan karena kecintaan kakek pada Republik Indonesia, tetapi orang tua Nenek Lusi si Van Mullen yang tidak menyetujui hubungan mereka.
            Entah mana yang benar namun yang pasti dahulunya Nenek Lusi adalah seorang noni yang cantik nan rupawan. Kulit selembut keju dan seputih susu. Berbeda dengan nenekku yang kulit sekeras singkong, secoklat sawo dan gigi berbaris seperti jagung seperti terlihat pada foto kawin nenek yang warnanya hitam putih kekuningan.
            Malang bagi nenek Lusi setelah zaman kolonial Belanda berganti dengan zaman Jepang. Semua keluarganya dibantai nippon yang mengaku sebagai saudara tua bangsa kita. Nenek Lusi berhasil diselamatkan oleh kakek. Saat itu kakek telah menikah dengan nenekku. Betapa marahnya nenek saat kakek membawa pulang Nenek Lusi ke rumah. Cieeh.. Cemburu si nenek. Hehehehe.
            Kakek yang bijak segera paham dengan perasaan nenek. Lalu Nenek Lusi disembunyikan di sebuah pondok di kebun yang jauh dari rumah. Nenekku tidak mengetahui hal tersebut karena kakek sangat pandai menutupi semuanya. Kakek adalah perayu ulung yang sangat ku kagumi. Sejak itu hubungan kakek dan nenek kembali mesra dan lahirlah ibuku yang akhirnya melahirkan aku.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Aku duduk membaca koran di beranda rumah saat Nenek Lusi mendatangi ku. Hampir ku melompat saat dia berdiri di hadapan ku dengan wajah penuh senyum yang menurutku lebih mirip seringai tajam nan mengerikan. Nenek Lusi terlihat lusuh dan kumuh. Ia menatapku dengan tatapan lembut. Bibirnya yang merah bekas sirih menyunggingkan senyum yang bergidik buatku. Rambut putih yang panjang kusut tak terurus menambah imajinasi seram dalam anganku.
            Ia mengulurkan tangannya dan mengusap lembut wajahku. Seperti tersihir, aku diam saja membiarkan tangan dingin yang tak lembut itu membelai wajahku. Aku takut namun aku merasakan sebuah sentuhan penuh kehangatan cinta.
            Senyum lembutnya kembali terpancar dari bibirnya dengan aroma sirih bercampur bau mulut liur kadaluarsa. Setitik bening airmata keluar dari sudut keriput matanya dan perlahan mengalir deras. Entah apa perasaan Nenek Lusi kala itu. Sedikitpun ku tidak bergerak dan hanya terus menatapnya.
            Nenek Lusi mengusap dahiku yang berkeringat entah ketakutan atau mungkin memang takut. Yaa takutlah yang ku rasakan saat itu. Namun ada rasa ketenangan yang mengalir mengiringi ketakutanku.
            Perlahan Nenek Lusi mendekap ku dalam pelukan tubuh rentanya. Aroma tua jasad renta menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku. Terdengar tangisan kecil Nenek Lusi yang seirama dengan detak jantungnya. Aku terus saja terpaku dengan semuanya. Tanpa mampu bergerak melawan. Tangis Nenek Lusi semakin keras disertai sebuah nyanyian kecil berbahasa Belanda yang aku tidak mengerti apa itu.
            Pelukannya melemah dan kembali tangannya mengusap-usap wajahku. Pelan dan pelan sekali tangannya yang tadi dingin mulai hangat membelai sampai ke leher. Senyum dari wajah lusuhnya terlihat ramah dan penuh kasih. Ku rasakan kasih sayang yang tulus seperti kasih sayang nenek yang membelai cucunya dengan cinta.
            Senyumnya terus merekah seakan tak pernah habis. Namun aku merasakan nafasku terhenti. Aku tak dapat bernafas.
            Nenek Lusi mencekik ku dengan kuat. Senyumnya yang lembut kini berubah menyeramkan. Aku tersentak dan sadar dihadapanku adalah Nenek Lusi yang berusaha mencekik ku. Aku semakin lemas tak  mampu bertahan. Dan bayangan Nenek Lusi menjadi gelap dalam pandanganku.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Sebuah cahaya terang menyilaukan mataku. Perlahan cahaya itu meredup dan sesosok tua dengan wajah lusuh menatapku dengan penuh kelembutan. Aku berusaha bangun namun tubuhku masih lemah. Sekilas senyum tua penuh kelembutan itu mulai tampak jelas di hadapanku. Tubuhku pun mulai dapat ku gerak-gerakkan. Begitu jelas sosoknya yang mengusap keningku.
            ”Nenek. Dimana aku?” tanya ku menatap tubuh tua di hadapanku yang ternyata adalah nenek ku sendiri sambil melihat sekeliling.
            Nenek menenangkan aku dan mengatakan saat itu aku berada di rumah sakit.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.
            Yaa.. Aku baru saja tersadar dari pingsan setelah dicekik oleh Nenek Lusi. Aku tidak mengerti mengapa dia mencekik ku. kata nenek ku, Nenek Lusi kini di bawa ke panti sosial untuk dirawat disana. Di pondoknya di temukan secarik foto tentara Jepang yang suka tidak suka harus ku akui mirip sekali dengan wajahku. Namun mengapa dia mencekik ku? Biarlah menjadi rahasia Nenek Lusi.
            Bertemu dengan Nenek Lusi sungguh mengejutkanku.

T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar